Kepemilikan Umum
Istilah milik berasal dari bahasa Arab yaitu milk. Dalam kamus
Al-Munjid dikemukakan bahwa kata-kata yang bersamaan artinya dengan milk
adalah malkan, milkan, malakatan, mamlakatan, mamlikatan, dan
mamlukatan. [1]
Milik dalam arti bahasa dapat diartikan “Memiliki sesuatu dan
sanggup bertindak secara bebas terhadapnya.” Menurut Hasbi Ash Shiddieqy
istilah milik dapat didefinisikan,”Suatu ikhtisas yang menghalangi yang lain,
menurut syariat yang membenarkan pemilik ikhtisas itu bertindak terhadap barang
miliknya sekehendaknya, kecuali ada penghalang”.[2]
Kata menghalangi dalam definisi di atas maksudnya adalah sesuatu
yang mencegah orang yang bukan pemilik sesuatu barang untuk mempergunakan dan
bertindak tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemiliknya. Sedangkan
pengertian penghalang adalah sesuatu ketentuan yang mencegah pemilik untuk
bertindak terhadap harta milinya.
Dalam
pandangan Islam, pemilik asal semua harta dengan segala macamnya adalah Allah SWT karena
Dialah Pencipta, Pengatur dan Pemilik segala yang ada di alam semesta ini:
وَلِلَّهِ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا يخْلُقُ
مَا يَشَاءُ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ
شَيْءٍ قَدِيرٌ
"Kepunyaan Allahlah kerajaan
langit dan bumi dan apa yang diantara keduanya. Dia menciptakan apa yang
dikehendakiNya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu".[3]
Sedangkan manusia adalah pihak yang
mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan harta tersebut. Sebagai
sebuah sistem tersendiri, ekonomi Islam telah menjelaskan segala hal yang
berkaitan dengan mekanisme perolehan kepemilikan, tata cara mengelola dan
mengembangkan kepemilikan, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di
tengah-tengah manusia secara detail melalui ketetapan hukum-hukumnya. Atas
dasar itu, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dalam Islam,
dibangun atas kaidah-kaidah umum ekonomi Islam yang meliputi tiga kaidah,
yakni:
·
Mekanisme
pengelolaan kekayaan
·
Distribusi
kekayaan di antara manusia.
2.
Jenis Hak Milik
Hak milik dalam hukum islam dapat dibedakan kepada:[4]
a. Milik yang sempurna, yaitu hak milik yang sempurna, sebab kepemilikannya meliputi
penguasaan terhadap bendanya dan manfaatnya benda secara keseluruhannya.
Pembatasan terhadap penguasaaan tersebut hanya didasarkan pada:
·
Pembatasan
yang dilakukan oleh hukum islam(seperti hak yang diperoleh dengan perkongsian.
Kongsi lama lebih berhak untuk menuntut kepemilikan suatu benda yang
diperkongsikan secara paksa daripada kongsi baru dengan syarat membayar ganti
kerugian).
·
Pembatasan
yang ditentukan oleh ketentuan perundang-undangan suatu Negara seperti hak-hak
atas tanah dalam ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
b.
Milik yang kurang sempurna
Disebut milik yang kurang sempurna, karena kepemilikan tersebut
hanya meliputi bendanya saja, atau manfaatnya saja.
·
Pemilikan
yang hanya menguasai bendanya saja.
·
Pemilikan
yang hanya menguasai manfaat atau hasil benda itu, misalnya si X mengemukakan
bahwa si Y hanya boleh menempati atau mendiami rumah tersebut. Dengan demikian,
si Y berhak terhadap manfaatnya saja dan ia tidak boleh mengalihtangankan benda
tersebut kepada orang lain, sebab hal tersebut bukan haknya.
Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa sebab
seseorang mempunyai hak milik menurut hukum islam, dapat diperoleh melalui
cara:
·
Disebabkan
ihrazul mubahat
·
Disebabkan
al-uqud
·
Dikarenakan
al-khalafiyah.
Adanya hak orang lain terhadap hak milik yang
diperoleh seseorang dibuktikan dengan antara laian adanya ketentuan:[5]
a. Pelarangan menimbun barang
Dalam ketentuan syariat islam seseorang pemilik harta tidak
diperbolehkan untuk menimbun barang dengan maksud agar harga tersebut naik
secara drastis, terutama barang-barang yang merupakan kebutuhan masyarakat
banyak. Larangan tentang hal ini dapat
dijumpai dalam,
·
Hadits
yang diriwayatkan Raziim dalam Al-Jami’nya menyebutkan bahwa Nabi bersabda,”Sejelek-jeleknya
hamba adalah si penimbun. Jjika mendengar barang murah, maka ia murka. Jika
barang menjadi mahal, ia gembira,”
·
Hadits
yang diriwayatkan Abu Daud, At-Tirmidzi dan Muslim dari Mu’ammar bahwa Nabi
bersabda,”Siapa yang melakukan penimbunan,ia dianggap besalah.”
b. Larangan memanfaatkan harta untuk hal-hal yang membahayakan
masyarakat
Baik itu yang membahayakan terhadap kehidupan beragama, terhadap
akal pikiran manusia, maupun terhadap keutuhan Bangsa dan Negara.
c. Pembekuan harta
Dalam rangka menghormati hak-hak masyarakat dalam sesuatu benda yang
dimiliki oleh seseorang, maka perbuatan pembekuan harta oleh seseorang pemilik
barang oleh syariat islam sangat dicela. Hal itu disebabkan karena selain
merupakan perbuatan yang tercela, pengembangan harta untuk tujuan-tujuan yang
produktif adalah merupakan tuntutan dari harta tersebut.
d. Pengembagan harta
Dalam
hal pengembangan harta menurut pandangan islam harus diperhatikan hak-hak
masyarakat. Oleh karena itu, islam sangat mencela orang-orang yang
mengembangkan harta terhadap hal-hal yang membahayakan masyarakat banyak.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar