Pengertian Lembaga Peradilan (Qadha’) dalam Islam
Menurut ilmu bahasa arti qadha’ antara lain: menyelesaikan, menunaikan, dan
memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Makna yang terakhir inilah yang
digunakan dalam konteks ini.
Sedangkan dari segi istilah ahli fiqih, qadha’ berarti Lembaga Hukum dan
perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai
wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang
mengikutinya. Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’ disebut hakim karena
karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa
digunakan dalam arti memutuskan perselisihan oleh hakim. Orang yang
melakukannya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqih, terminologi syariat dari
kata qadha’ adalah memutuskan perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta
konflik-konflik.
Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas qadha’
(Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu
hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya
menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.
Unsur-Unsur Peradilan dalam Islam
Ada enam unsur peradilan menurut hukum Islam, yaitu: hakim (qadhi), hukum,
mahkum bihi, mahkum alaihi, mahkum lahu dan sumber hukum (putusan). Hakim
(qadhi) adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak dapat
menyelesaikan tugas peradilan dengan sendiri. Nabi sendiri juga pernah mengutus
beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.
Hukum ialah putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu
perkara. Adakalanya hal ini dilakukan dengan suatu perkataan dan adakalanya
dengan perbuatan, misalnya pembagian secara paksa dan menolak gugatan.
Mahkum bihi adalah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi untuk dipenuhi atas
suatu hak. Hak itu adakalanya dipandang sebagai hak yang murni bagi Allah atau
bagi hamba. Adakalanya hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah
satu lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi dikenal oleh kedua
belah pihak.
Unsur berikutnya adalah mahkum alaihi atau si terhukum, yaitu orang yang
dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum alahi dalam hukum syara’ adalah orang yang
diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang
yang tergugat (atau tertuduh dalam perkara pidana) ataupun bukan. Mahkum alahi
ini boleh satu orang atau lebih.
Selanjutnya adalah mahkum lahu (si pemenang perkara), yaitu orang yang
menggugat suatu hak atau menuduhkan sesuatu dalam perkara pidana. Hak itu bisa
hak murni baginya, ataupun sesuatu yang terdapat padanya dua hak, tetapi haknya
lebih kuat. Dalam hal ini haruslah dia mengajukan gugatan, meminta agar
dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan perantara
wakilnya (kuasa hukumnya). Dalam persidangan, boleh dia sendiri ataupun
wakilnya yang menghadiri.
Unsur terakhir dalam peradilan adalah sumber hukum (putusan) dalam suatu
perkara. Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bahwa memutuskan perkara hanya
dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan
mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu sesuatu yang
bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk ke
dalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.
DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Topo.
2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani
Ash-Shiddieqy, Muhammad
Hasbi. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Azad, Ghulam
Murtaza. 1987. Judicial System of Islam. Islamabad: Islamic Research Institute.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar