.....::::: SELAMAT DATANG, SEMOGA ANDA PUAS DENGAN IRFANNOLNAM YANG POLOS DAN APA ADANYA :::::.....

Jumat, 03 Februari 2012

PENGERTIAN DAN UNSUR PERADILAN (QADHA) DALAM ISLAM

Pengertian Lembaga Peradilan (Qadha’) dalam Islam
Menurut ilmu bahasa arti qadha’ antara lain: menyelesaikan, menunaikan, dan memutuskan hukum atau membuat suatu ketetapan. Makna yang terakhir inilah yang digunakan dalam konteks ini.
Sedangkan dari segi istilah ahli fiqih, qadha’ berarti Lembaga Hukum dan perkataan yang harus dituruti yang di ucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas dasar mengharuskan orang mengikutinya. Menurut Muhammad Sallam Madkur, qadha’ disebut hakim karena karena dia melarang pelaku dari perbuatan tidak adil.
Karena adanya berbagai pengertian dari kata qadha’ itu, maka ia bisa digunakan dalam arti memutuskan perselisihan oleh hakim. Orang yang melakukannya disebut qadhi. Menurut para ahli fiqih, terminologi syariat dari kata qadha’ adalah memutuskan perselisihan dan menghindarkan perbedaan serta konflik-konflik.
Dengan definisi tersebut di atas dapat dikatakan bahwa tugas qadha’ (Lembaga Peradilan) adalah menampakkan hukum agama, bukan menetapkan suatu hukum, karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya ke alam nyata, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.

Unsur-Unsur Peradilan dalam Islam
Ada enam unsur peradilan menurut hukum Islam, yaitu: hakim (qadhi), hukum, mahkum bihi, mahkum alaihi, mahkum lahu dan sumber hukum (putusan). Hakim (qadhi) adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak dapat menyelesaikan tugas peradilan dengan sendiri. Nabi sendiri juga pernah mengutus beberapa penggantinya untuk menjadi hakim.
Hukum ialah putusan hakim yang ditetapkan untuk menyelesaikan suatu perkara. Adakalanya hal ini dilakukan dengan suatu perkataan dan adakalanya dengan perbuatan, misalnya pembagian secara paksa dan menolak gugatan.
Mahkum bihi adalah sesuatu yang diharuskan oleh qadhi untuk dipenuhi atas suatu hak. Hak itu adakalanya dipandang sebagai hak yang murni bagi Allah atau bagi hamba. Adakalanya hak yang dipersekutukan antara keduanya tetapi salah satu lebih berat. Diharuskan hak yang merupakan mahkum bihi dikenal oleh kedua belah pihak.
Unsur berikutnya adalah mahkum alaihi atau si terhukum, yaitu orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum alahi dalam hukum syara’ adalah orang yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan kepadanya, baik dia orang yang tergugat (atau tertuduh dalam perkara pidana) ataupun bukan. Mahkum alahi ini boleh satu orang atau lebih.
Selanjutnya adalah mahkum lahu (si pemenang perkara), yaitu orang yang menggugat suatu hak atau menuduhkan sesuatu dalam perkara pidana. Hak itu bisa hak murni baginya, ataupun sesuatu yang terdapat padanya dua hak, tetapi haknya lebih kuat. Dalam hal ini haruslah dia mengajukan gugatan, meminta agar dikembalikan haknya, baik dia bertindak sendiri ataupun dengan perantara wakilnya (kuasa hukumnya). Dalam persidangan, boleh dia sendiri ataupun wakilnya yang menghadiri.
Unsur terakhir dalam peradilan adalah sumber hukum (putusan) dalam suatu perkara. Dari keterangan-keterangan ini jelaslah bahwa memutuskan perkara hanya dalam suatu kejadian yang diperkarakan oleh seseorang terhadap lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima. Oleh karena itu sesuatu yang bukan merupakan satu peristiwa atau kejadian, dan hal-hal itu yang masuk ke dalam bidang ibadah, tidak dimasukkan ke dalam bidang peradilan.

DAFTAR PUSTAKA
Santoso, Topo. 2003. Membumikan Hukum Pidana Islam. Jakarta: Gema Insani
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Azad, Ghulam Murtaza. 1987. Judicial System of Islam. Islamabad: Islamic Research Institute.

Tidak ada komentar :